PANGKALPINANG – Terus meningkatnya kasus Covid-19 di Indonesia beberapa hari terakhir, menarik perhatian Anggota Komisi II DPR RI, Bambang Patijaya.
Dia menilai peningkatan jumlah penderita Covid-19 tidak terlepas dari tiga hal yang terjadi. Yakni, kejenuhan masyarakat yang menyebabkan abai dalam penerapan protokol kesehatan; longgarnya program penanganan kesehatan T3 oleh pemerintah dan terbitnya Keputusan Menteri Kesehatan Perubahan ke-5 tentang penentuan pasien Covid-19 yang sudah menjalani karantina dinyatakan sehat atau sembuh.
“Situasi di Indonesia dalam 10 hari terakhir ini sangat mengkhawatirkan, dalam satu hari kasus baru Covid 19 terkonfirmasi di kisaran 9.000 sampai 14.000 kasus. Ada banyak spekulasi penyebab ledakan kasus Covid ini, ada yang mengatakan karena libur panjang akhir tahun, ada yang mengatakan masyarakat sudah jenuh dan mulai menganggap biasa kasus Covid sehingga mulai abai terhadap protokol kesehatan, ada yang bilang karena ada vaksin jadi orang tidak lagi takut dan sebagainya dan sebagainya,” ungkap Bambang dalam catatan kecilnya yang dipublish, tadi malam.
Anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI ini menganalisa, dari hasil diskusinya dengan beberapa pihak yang berkompeten, kontrol Pemerintah dalam penanganan Covid-19 perlu dipertegas lagi.
Ia mengakui, dalam memerangi pandemi Covid-19 ada 2 hal utama yang sedang dilaksanakan oleh pemerintah pada sektor kesehatan. Pertama adalah tindakan Preventif yang saat ini sangat gencar dilakukan kampanye 3M yaitu Memakai Masker, Menjaga Jarak dan Mencuci tangan. Kedua, program Penanganan Kesehatan melalui program 3T yaitu Testing, Tracing dan Treatment.
“Secara umum masyarakat sudah terinformasi tentang program 3M ini. Yang harus kita lakukan adalah menjaga kedisiplinan dan konsistensi masyarakat dalam laksanakan protokol kesehatan 3M ini pada kehidupan sehari hari. Tantangan yang harus diatasi adalah rasa jenuh masyarakat setelah hampir setahun berkutat dengan situasi yang ketat akibat Covid 19. Dikhawatirkan masyarakat dapat abai dalam penerapan protokol kesehatan 3M, sehingga dapat menyebabkan penyebaran Covid 19 menjadi tidak terbendung,” ujarnya.
Karena itu, kontrol pemerintah terhadap masyarakat dalam melaksanakan 3M sangat penting, yakni terus mensosialisasikan penggunaan masker secara masif, melarang adanya kegiatan yang mengundang kerumunan massa dan mendorong tersedianya tempat cuci tangan atau hand sanitizer di area publik serta meningkatkan kesadaran masyarakat untuk selalu patuh dalam laksanakan protokol kesehatan.
Saat ini pun menurutnya, jumlah pengetesan (Testing) perhari secara nasional cukup tinggi yakni rata rata diatas empat puluh ribu tes Covid-19 sehingga angka terkonfirmasi positif pun otomatis ikut naik.
“Sekarang yang jadi masalah adalah “kecepatan mengetahui hasil testing” itu sendiri. Di banyak daerah masih terkendala soal ketersediaan mesin test PCR dan kapasitas mesin yang ada tidak bisa menghandle jumlah sample testing yang begitu banyak. Misalkan di Kabupaten Bangka, Dinas Kesehatan Bangka mengeluhkan lamanya hasil tes PCR yang dikirimkan ke Lab RSUD Provinsi.
Hasil test PCR diterima mereka selalu diatas 3 hari dari sampel dikirim, bahkan pernah sampai telat 10 hari,” ungkapnya.
Bambang menegaskan, hasil test PCR yang lambat diterima akan berimplikasi pada kegiatan traking (Tracing) yang lebih melebar karena penderita Covid tersebut tanpa disadarinya mungkin sudah melakukan kontak langsung dengan orang lain yang lebih banyak.
Situasi akan lebih buruk jika pihak yg seharusnya melakukan Tracking namun tidak tanggap dan tidak cepat melakukannya.
“Contoh pada salah satu kasus yang ada di Pulau Bangka yang masuk di media massa, penderita Covid 19 memprotes karena beberapa hari setelah dirinya terkonfirmasi positif Covid 19 tidak ada petugas dari kabupaten yang datang mendata dan melakukan tracing pada orang-orang yang melakukan kontak langsung dengan dirinya,” ulas Bambang yang biasa disapa BPJ.
Padahal, seharusnya orang yang terkonfirmasi Covid 19 sedini mungkin untuk segera diberikan tindakan pengobatan (Treatment) dengan memberikan vitamin vitamin dan obat obatan yang diperlukan berdasarkan kondisinya masing masing.
Tidak hanya itu, Orang Tanpa Gejala (OTG) atau penderita dengan dampak ringan pun saat ini disarankan pemerintah untuk melakukan isolasi mandiri. Dan setelah dicermati, kegiatan isolasi mandiri ini ternyata menjadi salah satu problem baru.
“Kedisiplinan, kewaspadaan dan pemahaman kesehatan orang yang melakukan isolasi mandiri tentu tidak akan sama, bisa berbeda beda.
Jika tidak terpantau, tidak terdata dan tidak teredukasi dengan baik. Isolasi mandiri yang dilakukan penderita Covid malah dapat menjadi penyebaran kluster keluarga dan kluster tempat kerja. Hal ini banyak terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya,” terangnya.
Kemudian, lanjut Bambang ada hal menarik hasil pantauannya baru baru ini ketika berkomunikasi dengan pasien Covid yang sedang dirawat/dikarantina di Pangkalpinang dan juga hasil diskusi dengan tenaga kesehatan. Ternyata, kebijakan Kepmenkes diduga menjadi salah satu penyumbang meledaknya jumlah kasus baru Covid-19.
“Pada Kepmenkes Prosedur Penanganan covid “perubahan yang ke 5”, pasien dapat dinyatakan “sehat” setelah 10 hari dikarantina dari dia pertama kali dinyatakan positif tanpa perlu dilakukan lagi pengetesan SWAB PCR jika yang bersangkutan tidak lagi ada keluhan. Mengacu pada Kepmenkes tentang Prosedur Penanganan Covid, beberapa pasien yang sebetulnya belum terlalu sehat sudah minta keluar dari karantina karena sudah 10 hari berada disana (tempat karantina-red). Mereka memang menghindar untuk dilakukan pengetesan PCR pada diri mereka, karena jika dites dan masih positif maka mereka takut harus kembali dikarantina selama 10 hari kedepan,” ungkap BPJ.
Ketua DPD Golkar Bangka Belitung ini mengaku mendapat curhat dari seorang penderita Covid yang sedang dikarantina, dan menyampaikan bahwa berada di dalam karantina Satgas Covid 19 banyak yang merasa stres karena tidak nyaman, banyak penderita yang merasa tegang dengan kondisi mereka sendiri, meski pun petugas karantinanya baik baik, ramah dan perhatian.
Karena hal ini pula, pasien yang sudah 10 hari karantina berpura pura telah sembuh karena tidak lagi bergejala dan sesuai Kepmenkes boleh pulang tanpa dites lagi, tanpa tau virus Covid-19 masih ada ata tidak di dalam tubuhnya.
“Ketika berdiskusi dengan Pak Mikron Antariksa Sekretaris Satgas Covid Babel, beliau juga mengakui bahwa Prosedur Kepmenkes ini tidak punya parameter untuk menyatakan orang sehat dari Covid. Hanya sebatas pada prosedur karantina 10 hari lalu orang itu dinyatakan sehat tanpa perlu dilakukan pengecekan SWAB PCR lagi, walaupun prosedur ini katanya berdasarkan hasil penelitian dan riset dari ahli dunia tentang Covid 19,” sindirnya.
Hal sama disampaikan seorang dokter yang terlibat dalam penanganan Covid 19 di Babel. Bambang menanyakan tentang kebijakan Kepmenkes tersebut, dan menurut dokter itu memang benar bahwa penderita Covid walau belum 100% sehat/pulih tapi sudah melewati 10 hari dikarantina sudah tidak dapat menularkan virus Corona pada orang lain.
Dengan alasan, karena virus itu sudah melemah pengaruhnya namun masih punya jejak dalam tubuh penderita, sehingga jika dilakukan pengetesan PCR terkadang masih menunjukkan skala positif.
Dokter itu menyatakan kebijakan tersebut berdasarkan hasil penelitian dan riset yang dilakukan oleh ahli kesehatan dunia tentang Covid 19 dan sekarang menjadi acuan Kementerian Kesehatan RI dalam prosedur penanganan Covid 19.
Berkaitan tentang prosedur itu Bambang akhirnya berdiskusi dengan rekan-rekannya di DPR RI Komisi 9, antara lain dengan Yahya Zaini dan Melki Laka Lena.
Wakil Ketua Komisi 9, Melki Laka Lena saat ini sedang melakukan isolasi mandiri, terkena Covid sejak akhir minggu ketiga Desember 2020. Dan kemarin kata BPJ, hasil SWAB PCR Melki pun masih positif. Padahal yang bersangkutan merasa sudah bugar, dan telah 3 minggu lebih terjangkit Covid dengan proses pengobatan yang tentunya lebih baik sebagai pejabat negara.
“Dari diskusi saya dengan Bapak Melki via telpon kemarin, beliau juga mempertanyakan kenapa Kepmenkes tentang Prosedur Penanganan Covid menyatakan sehat setelah diisolasi/karantina 10 hari tanpa perlu dilakukan pengecekan SWAB PCR. Bahasan saya tentang hal ini ditanggapi serius oleh Bapak Yahya Zaini juga yang dijanjikan oleh beliau akan diteruskan ke Menteri Kesehatan yang baru, agar prosedur penanganan Covid tentang parameter menyatakan orang sehat dapat dijelaskan lebih lanjut,” tandasnya.
Bambang menegaskan perlu adanya parameter untuk menyatakan orang sehat dari Covid selain dari pada orang itu sudah melakukan karantina selama 10 hari sebagaimana Kepmenkes tentang Prosedur Penanganan Covid 19 tersebut.
Tujuannya untuk menghindari jangan sampai terjadi kasus penularan oleh orang yang “diduga sudah sehat” dari Covid 19.
“Jika program preventif dan program penanganan kesehatan ini dapat berjalan baik dan dilaksanakan dengan disiplin oleh masyarakat dan aparatur pemerintah, mudah-mudahan kasus baru Covid 19 dapat kita redam dengan drastis. Masukan dan saran tentang hal ini semata mata untuk bahan evaluasi dan kebaikan kita semua dalam sama sama berjuang melawan pandemi Covid 19 di Indonesia,” pungkasnya . (Rillis)